Mantan Kiai NU menggugat |
“Tahlilan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur dari pendeta dalam sebuah acara berikut ini, “Tahun
2006 silam bertempat di Lumajang, Jatim diselenggarakan kongres Asia
penganut agama Hindu. Salah satu poin penting yang diangkat adalah
ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka karena
bermanfaatnya ajaran agama mereka yakni peringatan kematian pada hari 1,
2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang
disebut geblak dalam istilah Jawa(atau haul dalam istilah NU-ed) untuk
kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut
oleh sebagian umat Islam” (KH. Makhrus Ali dalam buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali” hal.23)
“Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabi’uts tsani
1345H/21Oktober 1926M mencantumkan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami dan
menyatakan bahwa selamatan setelah kematian (yakni Tahlilan dan
Yasinan-ed) adalah Bid’ah yang hina/tercela, namun
tidak sampai mengharamkannya. (Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam, keputusan Muktamar, Munas Kombes Nahdhatul Ulama
(1926-2004M) LTN NU Jawa Timur Bekerja sama dengan Penerbit Khalista,
Surabaya-2004. Cetakan ketiga, Februari 2007 Halaman 15 s/d 17).” (KH. Makhrus Ali dalam buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali” hal.19)
Bagi warga Sidoarjo, khususnya bagi warga NU, nama KH. Makhrus Ali
amat dikenal. Beliau adalah seorang tokoh kyai besar yang telah terjun
di medan dakwah. Tapi siapa yang menyangka kalau KH. Makhrus Ali berubah
manhajnya dalam beragama yang semula sebagai seseorang yang gemar
melakukan tradisi dan amaliah kebid’ahan, kini beralih menjadi seorang
Ahlussunnah. Insya Allah.
Biografi dan Perjalanan Ilmiah Mantan Kyai NU
KH. Makhrus Ali adalah seorang mantan Kyai NU, begitulah beliau
mengenalkan dirinya dalam tulisan-tulisan beliau. Beliau lahir dan
bernasab NU di dusun Telogojero desa Sidomukti kecamatan Giri-Gresik
Jatim pada tanggal 28 Desember 1957. Sejak lahir hingga usia 40 tahun,
beliau telah menjadikan paham Ahlussunnah wal Jama’ah ala NU sebagai
identitas kultural, keagamaan, basis teologi dan dakwahnya.
Beliau adalah adik dari KH. Mujadi, pimpinan ponpes KH. Mustawa
Sepanjang-Sidoarjo, menantu Kyai Imam Hanbali (seorang tokoh NU yang
disegani di Waru-Sidoarjo), adik ipar KH. Hasyim Hanbali, pimpinan
ponpes Asy-Syafi’iyyah dan juga adik ipar dari KH. Abdullah Ubaid,
pengasuh ponpes Manba`ul Qur`an Tambak Sumur, Waru-Sidoarjo.
Setelah menamatkan pendidikan di Madrasah MI-NU Sidomukti
(1970/1971), beliau meneruskan studinya ke ponpes Langitan Tuban-Jatim
selama 7 tahun yang saat itu diasuh oleh KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Ahmad
Marzuqi (mbah Mad) dan KH. Abdullah Faqih. Selama belajar di Langitan,
KH. Makhrus Ali sering menjadi bintang kelas dan juara membaca kitab
kuning. Bahkan beliau pernah diamanahi untuk mengajar di Langitan selama
2 tahun hingga akhirnya beliau dikirim oleh KH. Abdullah Faqih ke
Bangil untuk mengajar di ponpes YAPI yang diasuh oleh Habib Husain
Al-Habsyi. Selama di YAPI, beliau dipercaya untuk mengajar materi Nahwu,
Sharaf, Fara`idh, Hadits dan tafsir. Beliau juga dipercaya untuk
memimpin pondok tersebut bersama ust. Imran (sekarang mengasuh di ponpes
Parengan-Lamongan).
Setelah itu beliau melanjutkan studi ke Mekkah, tepatnya di Jama’ah
Tahfizhil Qur’an, langsung di bawah bimbingan Syaikh Yasin Al-Banjari,
Syaikh Wa’il dan Syaikh Sa’ad bin Ibrahim sambil sesekali ngaji rungon
kepada Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani (seorang ulama yang
diidolakan dan menjadi panutan Kyai, Habib, Gus dan ulama NU) hingga
mengkhatamkan selama 3 tahun.
KH. Makhrus Ali juga berguru kepada Syaikh Yasin Al-Fadani, seorang
ahli sanad hadits dan memperoleh ijazah sanad dari beliau untuk ribuan
kitab hadits dan fiqih. Selain itu, KH. Makhrus Ali juga belajar kepada
Syaikh Husain Abdul Fattah dan Syaikh Abdullah bin Humaid, ketua Qadhi
di Saudi Arabia. Beliau juga sempat belajar kepada Samahatusy Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz saat menjabat sebagai ketua Lajnah
Daa`imah. Syaikh Bin Baaz adalah seorang ulama mufti yang tuna netra
namun paling disegani di Saudi Arabia. KH. Makhrus Ali juga pernah
membantu Dr. hikmat Yasin Al-Iraqi untuk menulis Tafsir Ibnu Abi Hatim
dan Muhammad bin Ishaq dalam bahasa Arab selama 2 tahun. Beliau juga
dipercaya menjadi muadzin sekaligus imam di masjid Al-Husain di
Aziziyah-Mekkah selain memberikan cerama agama. Beliau juga menjadi
rujukan pertanyaan tentang manasik haji jama’ah haji dari Indonesia di
maktab Syaikh Abdul Hamid Mukhtar Sidayu.
Tahun 1987, beliau kembali ke tanah air setelah belajar di Saudi
Arabia selama 7 tahun dan mulai terjun di dunia tulis menulis, mengarang
buku dan menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia.
Naskah yang sudah beliau tulis dan terjemahkan sudah amat banyak.
Beliau menikah dengan Hj. Faizah, seorang hafizhah alumni ponpes
Nurul Huda Singosari Malang-Jatim, putri dari Kyai Hanbali (seorang
tokoh yang disegani di Waru-Sidoarjo yang pernah nyantri langsung kepada Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh ponpes Tebu Ireng Jombang-Jatim).
Masa Lalu Mantan Kyai NU
Sebagaimana pada umumnya kaum tradisionalis NU, kehidupan KH. Makhrus
Ali pun bagitu kental dengan tradisi-tradisi yang ada dalam NU, semisal
Yasinan, Tahlilan, Istighasahan dan lainnya. Beliau menuturkan, “
Dulu sewaktu saya masih berpendirian antara Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad,
LDII, Al-Khairiyah, saya selalu memimpin acara tahlilan di tempat saya.
Saya anggap acara itu sebagai bacaan dzikir yang baik. Kalau toh tidak
sampai kepada mayat, pahalanya juga bisa dimanfaatkan secara pribadi
oleh para pembacanya. Hal itu terjadi setelah saya kenal dengan Ust.
Habib Husain Al-Habsyi-Bangil (yang sekarang masih berkubang dalam
lumpur kesyirikan. Semoga Allah member hidayah kepadanya). Waktu itu
saya menjadi salah satu guru di pondok tempatnya mengasuh. Sebelum itu,
saya termasuk kolot. Saya selalu mengikuti apa yang diikuti oleh
guru-guru saya. Saya termasuk juga hafal Burdah, Barzanji, Tahlilan,
Alfiyah, dan Imrithi. Dan banyak kitab kuning yang saya sudah ngelontok
(hafal di luar kepala). Waktu itu saya tidak khawatir bila saya mati,
saya akan masuk surga. Saya waktu itu menjadi penceramah di kalangan
remaja NU di Sidomukti Giri Gresik-Jatim. Saya tidak khawatir lagi bila
malaikat maut datang sebab saya ikut agama kakek dan nenek saya.
Ketika saya pulang dari ponpes, saya ikut diba`an. Di ponpes pun
saya juga tiap malam Jum’at ikut diba`an dan tahlilan. Saya katakana,
saya hafal betul, sampai sekarang kalau ada orang baca diba` keliru,
saya masih mengerti kalau dia keliru. Kumpulan saya memang hanya dari
kalangan NU. Dan saya mengikuti budaya mereka. Saya tidak mengerti
salah, bid’ah, sesat dan kesyirikan dalam amaliah yang saya jalankan.
Saya katakan saya tidak tahu. Saya paham ilmu katanya guru.”
Ketika Hidayah Sunnah Menyapa
Menjadi seorang Ahlussunnah adalah impian bagi setiap muslim. Sebab
Apa? Karena hanya Ahlussunnah-lah firqah yang benar. Oleh karena itu,
kita mendapati setiap kelompok dalam Islam mengklaim diri mereka sebagai
Ahlussunnah (kecuali Syi’ah). Walaupun secara aqidah dan amaliah mereka
tidaklah demikian, tapi justru berlandaskan penyimpangan demi
penyimpangan (Syirik, Bid’ah, khurafat dan Tahayul).
Dan inilah yang dialami oleh KH. Makhrus Ali. Ketika hidayah Sunnah
menyapa, beliaupun menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau
menuturkan, “Sewaktu kyai saya datang ke rumah, ketika saya membaca
buku fatawa Mahmud Syaltut, Kyai saya bilang, “Jangan membaca kitab
seperti itu!”
Mungkin maksudnya agar saya mengikuti paham salafiyyah ala
pesantren NU, dan masih belum waktunya untuk membaca buku seperti itu.
Sebab, Syaltut adalah rektor Al-Azhar yang pikirannya terbuka dan
memilih yang benar dari beberapa pandangan ulama, tidak terikat kepada
salah satu golongan. Saya sudah memegang buku bahasa karangan bahasa
Arab karangan rektor Al-Azhar itu ketika usia saya baru 16 tahun.”
Beliau melanjutkan, “Bila saya bertemu dengan kyai, saya mencium
tangannya. Saya tidak berani berbicara di mukanya. Memang begitulah
budaya santri. Sekarang saya sudah mengerti bahwa para sahabat bila
bertemu dengan Rasulullah tidak pernah mencium tangan. Dan saya belum
tahu haditsnya dimana para sahabat mencium tangan Rasulullah.”
Selama 40 tahun KH. Makhrus Ali berkubang di dalam tradisi dan
amaliah yang bid’ah dan syirik. Namun hidayah datang kepada beliau.
Beliau menceritakan keadaan dirinya saat ini, “Sekarang saya sudah
bisa mengkaji ilmu dan bisa mencari mana yang benar karena anugerah dari
Allah dan rahmat-Nya. Saya pilih mana yang tidak menyimpang dan yang
cocok dengan dalil. Saya jadi geleng-geleng kepala ketika mengenang
perbuatan saya waktu dulu. Pikir saya, mengapa tidak dari dulu saya ikut
aliran Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ah…itu semua tidak bisa diperkirakan.”
KH. Makhrus Ali melanjutkan cerita, “Hati saya berontak dengan
ajaran tradisional, tapi mulut saya tidak bisa bicara. Pikiran tidak
cocok, tapi mau mendebat tidak punya ilmu. Setelah banyak pengalaman,
ilmu saya selalu diluruskan dengan dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Maka ilmu tradisional yang telah mendalam di lubuk hati dan pikiran
waktu dahulu, kini terbuang. Entah kemana, mungkin ke recycle bin atau
keranjang sampah. Saya yang dulu lain dengan yang sekarang. Ilmu saya
dulu ngambang, mengaku benar tapi menurut saya sendiri dan golongan
saya. Bila saya mati, saya sudah merasa yakin akan masuk surga menurut
pemahaman saya dan golongan saya. Jadi surga-surgaan sebagaimana
layaknya orang non-muslim mengaku akan masuk surga. Inilah yang saya
khawatirkan.”
“Di saat saya belum berpikir sebagaimana pemikiran Ahli Hadits
(yakni Ahlussunnah-pen), ilmu saya hanya taklid, tidak ingin ada pikiran
untuk mengkaji suatu hadits atau suatu ajaran dan tidak ada agenda
kesana. Atau memang belum mendapatkan pertolongan dan hidayah dari Allah
untuk membuang bid’ah, syirik, khurafat, taklid buta, menolak hadits,
menolak ajaran “baru” yang benar yang menghapus khurafat dan ajaran
sesat dari hati saya”, lanjut beliau.
Beliau menerangkan lagi, “Apalagi menurut Syaikh Shalih Fauzan,
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy atau Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
(rahimahumullaah, semuanya adalah nama-nama ulama Ahlusunnah yang tidak
dikenal oleh kalangan NU, padahal orang-orang NU mengaku diri mereka
sebagai Ahlussunnah-ed), maka saya termasuk penyembah kuburan, suka
kebid’ahan dan matinya berbahaya.”
Akhirnya beliau tinggalkan seluruh ritual dan amaliah yang bid’ah dan
syirik yang dahulu beliau amalkan ketika masih berpaham NU. Dan
sekarang beliau senantiasa mendakwahkan kepada manusia bahwa
amalan-amalan yang mayoritasnya diamalkan oleh kaum Nahdhiyin adalah
bid’ah dan harus ditinggalkan.
Jalan hidayah tidaklah selalu mulus. Akan ada penghalang dan
penentang yang tidak setuju apabila seseorang mengubah keyakinannya yang
semula berkubang dengan kebid’ahan dan beralih kepada manhaj
Ahlussunnah yang haq. Demikian juga yang dialami oleh KH. Makhrus Ali.
Beliau menuturkan, “Sekarang saya ikut aliran ahli
hadits(ahlussunnah-ed), disalahkan oleh ibu saya, keluarga saya dan
golongan saya dulu. Saya pikir di dunia ini yang penting adalah lurus
dan ajaran saya cocok dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan yang jelas
harus beda dengan ahli bid’ah.”
Melalui penanya yang tajam, beliau mengkritisi setiap tradisi dan
amaliah menyimpang yang banyak dilakukan oleh kaum tradisional. Bukan
hanya dari kalangan awwam saja, namun dari para tokoh yang dijunjung
tinggi pun masih banyak yang bergelimang dalam kebid’ahan.
Inilah sosok seorang Kyai yang telah kembali kepada ajaran Islam yang
murni, Ahlussunnah yang sesungguhnya. Ya, Ahlussunnah. Dinamakan
demikian karena Ahlussunnah adalah lawan dari bid’ah dan ahlinya. Kalau
ada golongan atau kelompok yang berkubang dalam kebid’ahan namun mereka
mengklaim diri mereka sebagai Ahlussunnah, maka klaim itu hanya sebatas
klaim dusta.
Kita berdoa kepada Allah agar para kyai yang kini tengah berkubang
dalam kebid’ahan mendapatkan hidayah sehingga mereka bisa meninggalkan
kebid’ahan mereka, sehingga mereka betul-betul menjadi sosok alim yang
faqih yang bisa dijadikan umat sebagai rujukan ilmu dan bisa mewujudkan Al-‘Ulamaa` waratsatul Anbiyaa` (Para ulama adalah pewaris para nabi). Aamiin.
(Ditulis ulang dengan pengeditan dan penambahan seperlunya dari buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighasahan dan Ziarah para Wali” karya KH. Makhrus Ali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar