Hukum Tahlilan |
Akhir-akhir ini kita sering mendengar kegiatan tahlil bersama, sehubungan dengan perginya orang penting di negara ini.
Kegiatan tahlilan marak dilakukan oleh
sebagian orang yang ingin mendoakan agar amal ibadah yang bersangkutan
diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Saya tidak ingin berpolemik dengan
membahas tentang si orang penting ini, tetapi ingin sekedar membagi yang
saya baca, mengenai prosesi tahlilan tersebut. Benarkah amaliah ini
benar-benar di syariatkan oleh agama ini? Dan benarkah bahwa imam
Syafi’i yang diklaim sebagai madzab yang diikuti oleh sebahagian besar
oleh umat Islam di negeri ini menganjurkannya atau justru MELARANGNYA?
Dalam sebuah kitab kecil, selamatan
kematian atau yang biasa kita sebut tahlilan dibahas secara singkat dan
padat, khususnya dari pandangan imam Syafi’i sendiri. Tujuannya adalah
untuk meluruskan pemahaman yang keliru dari kegiatan ini.
Ternyata kegiatan tahlilan ini dari sejak
jaman sahabat dianggap sebagai kegiatan meratap yang dilarang oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia
berkata:”Kami (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni
menurut mazhab kami para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli
mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari
bagian meratap.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih.
Dan an niyahah/ meratap ini adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;
Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Ada dua perkara yang masih dilakukan
oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela
keturunan, dan meratapi orang mati”.
Pandangan Imam Syafii.
Nah, bagaimana dengan pandangan imam
Syafii sendiri –yang katanya- mayoritas ummat Islam di Indonesia
bermadzab dengannya, apakah ia sepakat dengan kebanyakan kaum muslimin
ini atau justru beliau sendiri yang melarang kegiatan tahlilan ini?
Didalam kitab al Umm (I/318), telah berkata imam Syafii berkaitan dengan hal ini;
“Aku benci al ma’tam, yaitu
berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena
sesungguhnya yang demikian itu akan memperbahrui kesedihan.”
Jadi, imam Syafii sendiri tidak suka
dengan kegiatan tahlilan yang dilakukan sebagaimana yang banyak
dilakukan oleh ummat Islam sendiri.
Dalam Al Qur’an, di surat An Najm ayat 38 dan 39 disebutkan disana;
[53.38] (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
[53.39] dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Berkaitan dengan hal ini maka Al Hafidh Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai berikut;
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan
memikul dosa orang lain, demikian juga seseorang tidak akan memperoleh
ganjaran/pahala kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya
sendiri.
Dan dari ayat yang mulia ini, al Imam Asy
Syafii bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan suatu
hukum: Bahwa Al Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang
yang telah mati.
Karena bacaan tersebut bukan dari amal
dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an
kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau
memberikan petunjuk kepada mereka dengan baik dengan nash (dalil yang
tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil
isyarat pun tidak ada).
Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun Sahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Al Qur’an kepada orang yang telah mati).
Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului kita mengamalkannya.
Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas kepada dalil tidak bileh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran).”
Jadi, dari keterangan ibnu Katsir ini
jelas bahwa perbuatan membaca Al Qur’an dengan tujuan pahalanya
disampaikan kepada si mayit tidak akan sampai, dan demikianlah pandangan
ulama besar yang dianut oleh sebahagian besar kaum muslimin di negeri
ini.
Lantas, mengapa mereka berbeda dengan imam mereka sendiri?
Wallahu a’lam.
Rujukan: Hukum Tahlilan (Selamatan
Kematian) Menurut Empat Madzab & Hukum Membaca al Qur’an untuk Mayit
bersama Imam Syafii, karya ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar