TAHLILAN & YASINAN
A: "Sampeyan wahabi to mas?"
B: "Kenapa?"
A: "Koq ndak mau ikut tahlilan dan yasinan?"
B: "Emang apa itu wahabi?"
A: "Wahabi itu yang ngikuti Saudi itu lho mas, masnya kan tahu sendiri
bagaimana sikap Saudi terhadap negara-negara Islam, contohnya itu
Palestina. Dan sikap wahabi memang suka mengkafirkan yang diluar
golongannya".
B: "Masnya tahu ndak orang kafir dilarang masuk kota Makkah?"
A: "Belum tahu mas."
B: "Allah berfirman dalam surat at Taubah ayat 28 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَٰذَا
"Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik
itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun
ini …(tahun penaklukan kota Mekkah)"
Imam al Qurthubi berkata :
"Diharamkan memberikan keleluasaan kepada orang musyrik untuk masuk
tanah Haram. Apabila ia datang, hendaknya imam (penguasa) mengajaknya
keluar wilayah tanah Haram untuk mendengarkan apa yang ingin ia
sampaikan. Seandainya ia masuk dengan sembunyi-sembun yi dan kemudian
mati, maka kuburnya harus dibongkar dan tulang-belulang nya
dikeluarkan"(Ja mi' Ahkamil Qur'an 8/96).
A: "Trus apa hubungannya mas?"
B: "Kalau misalnya wahabi seperti yang mas katakan itu mengkafirkan
orang di luar golongannya maka, mereka akan mengusir orang-orang yang
berhaji ke kota Makkah berdasarkan ayat tersebut! Buktinya tidak
demikian, tiap tahun tetap ada haji di sana, bahkan kaum muslimin
diberikan fasilitas yang baik khususnya para jama'ah haji. Bahkan yang
notabenenya Syi'ah pun diperbolehkan masuk ke Makkah untuk berhaji."
A: "Oh iya, bener juga ya mas. Lha trus sampeyan koq tidak ikutan
tahlilan dan yasinan. Sampeyan ini kelompok mana Muhammadiyah?"
B: "Saya kelompok orang yang mencintai sunnah nabi. Coba mas pikirkan, ketika mas melakukan tahlilan, tujuannya apa?"
A: "Mendo'akan si mayit".
B: "Madzhab mana yang berkata seperti itu?"
A: "Madzhab Syafi'i dong"
B: "Apa mas tahu kalau Madzhab Syafi'i itu mengatakan tidak akan sampai pahala kepada si mayit?
An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan :
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى
الميت........ ودليل الشافعي وموافقيه قول اللهِ تعالى : وَأَن لّيْسَ
لِلإِنسَانِ إِلاّ مَا سَعَى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم : إذا مات ابن
آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو
له
”Adapun bacaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirmkan kepada
si mayit), maka yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa
perbuatan tersebut tidak akan sampai pahalanya kepada mayit yang
dikirimi...... Adapun dalil Imam Syafi’i dan para pengikutnya adalah
firman Allah (yang artinya) : ”Dan tidaklah seseorang itu memperoleh
balasan kecuali dari yang ia usahakan” (QS. An-Najm : 39); dan juga
sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (yang artinya) : ”Apabila anak
Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali atas tiga
hal : shadaqah jaariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang
mendoakannya” [Lihat Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 1/90].
Ibnu Katsiir dalam Tafsir-nya ketika menafsirkan Surat An-Najm ayat 39 berkata :
أي كما لا يحمل عليه وزر غيره, كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو
لنفسه, ومن هذه الاَية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه, أن
القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى, لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم
ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا
أرشدهم إليه بنص ولا إيماء, ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم,
ولو كان خيراً لسبقونا إليه, وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف
فيه بأنواع الأقيسة والاَراء
”Yakni sebagaimana dosa seseorang
tidak dapat menimpa kepada orang lain. Demikian juga manusia tidak
memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Dan dari ayat
yang mulia ini (ayat 39 QS. An-Najm), Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama
lain yang mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa bacaan yang pahalanya
dikirimkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai, karena bukan dari
hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkannya
(pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik
dengan nash maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang shahabat pun
yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalaupun amalan semacam itu
memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan
pendekatan diri kepada Allah tersebut hanya terbatas pada nash-nash
(yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan
dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendap at” [Lihat Tafsir Al-Qur’aanil-’A
dhiim li-Bni Katsiir]."
A: "Waduh. Trus pendapat yang membolehkan siapa mas?"
B: "Ibnu Taimiyah menjelaskan,
وَأَمَّا اشْتِرَاطُ إهْدَاءِ ثَوَابِ التِّلَاوَةِ فَهَذَا يَنْبَنِي
عَلَى إهْدَاءِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ : كَالصَّلَاةِ
وَالصِّيَامِ ؛ وَالْقِرَاءَةِ فَإِنَّ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةَ
يَجُوزُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا بِلَا نِزَاعٍ وَأَمَّا الْبَدَنِيَّةُ
فَفِيهَا قَوْلَانِ مَشْهُورَانِ . فَمَنْ كَانَ مِنْ مَذْهَبِهِ أَنَّهُ
لَا يَجُوزُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا : كَأَكْثَرِ أَصْحَابِ مَالِكٍ
وَالشَّافِعِيِّ كَانَ هَذَا الشَّرْطُ عِنْدَهُمْ بَاطِلًا …. وَمَنْ
كَانَ مَنْ مَذْهَبُهُ أَنَّهُ يَجُوزُ إهْدَاءُ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ
الْبَدَنِيَّةِ : كَأَحْمَدَ وَأَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ وَطَائِفَةٍ مِنْ
أَصْحَابِ مَالِكٍ .
“Adapun disyaratkan (dalam masalah nadzar,
pen) menghadiahkan pahala bacaan Qur’an, maka hal ini kembali pada
permasalahan menghadiahkan pahala ibadah badaniyah seperti shalat,
puasa, bacaan Al Qur’an. Untuk ibadah maliyah (berkaitan dengan harta),
maka boleh menghadiahkan pahala kepada si mayit dan hal ini tidak
diperselisihkan oleh para ulama. Untuk ibadah badaniyah, hal ini
diperselihkan oleh mereka dan ada dua pendapat yang masyhur dalam
masalah ini. Bagi mereka dalam madzhabnya menyatakan tidak boleh
menghadiahkan pahala kepada si mayit –seperti menjadi madzhab kebanyakan
pengikut Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i, maka jika disyaratkan
demikian, maka itu syarat yang batil. … Dan siapa yang madzhabnya
membolehkan mengirimkan pahala ibadah badaniyah kepada si mayit –seperti
dalam madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Imam
Malik- ….” (Majmu’ Al Fatawa, 31: 50).
Ibnu Taimiyah pernah ditanya,
وَسُئِلَ : هَلْ الْقِرَاءَةُ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ مِنْ الْوَلَدِ أَوْ لَا ؟ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ .
“Apakah pahala membaca Al Qur’an dari anak sampai pada si mayit menurut madzhab Syafi’i?”
Beliau rahimahullah menjawab,
أَمَّا وُصُولُ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ : كَالْقِرَاءَةِ
وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ فَمَذْهَبُ أَحْمَد وَأَبِي حَنِيفَةَ
وَطَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهَا تَصِلُ
وَذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهَا لَا
تَصِلُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Adapun mengirim pahala ibadah
badaniyah seperti membaca Al Qur’an, shalat dan puasa menurut madzhab
Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Imam Malik, pahala
tersebut sampai. Namun kebanyakan pengikut Imam Malik dan Imam Asy
Syaf’i menyatakan tidak sampai. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 24:
324)"
A: "Wah, koq madzhab saya jadi gado-gado gini ya mas?"
B: "Itulah makanya, mari kita belajar bersama mas. Agama itu ada untuk
dipelajari, bukan untuk bahan lawakan, bukan apa kata kyai, bukan apa
kata ustadz, bukan apa kata syaikh. Agama juga bukan hiburan yang kita
tanggap setiap seminggu sekali. Tapi agama adalah ilmu dan amal. Dengan
ilmu dan amal, kita membentuk akhlaq yang baik."
A: "Trus bagaimana dengan Yasinan mas?"
B: "Dalil-dalil tentang keutamaan surat yasin tidak ada satupun yang Shahih."
A: "Waduh"
B: "Kira-kira untuk melakukan acara tahlilan itu masnya habis berapa duit?"
A: "Bisa sampai 2 ~ 3juta mas"
B: "Berarti masnya 7 hari, 40 hari, 1 tahun, 1000 hari masing-masing mengeluarkan uang segitu rata-rata?"
A: "Iya mas, kadang ngutang juga sih"
B: "Sebenarnya ada amalan yang sudah melebihi dari sekedar kirim pahala"
A: "Hah? Yang bener mas?"
B: "Masnya punya anak?"
A: "Punya mas."
B: "Nah, masnya sudah ngajarin anak baca Al Fatihah? Sholat dan lain-lain?"
A: "Tentu saja mas, sudah."
B: "Masya Allah, besar sekali pahalanya mas. Mas tahu kalau misalnya
anak mas baca Al Qur'an dan sholat maka pahalanya akan mengalir kepada
mas?"
A: "Emang bisa ya mas?"
B: "Tentu saja bisa. Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: إِلاَّ
مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ
ص?َالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia meninggal maka semua amalannya
terputus kecuali tiga perkara: Kecuali sedekah jariyah, atau ilmu yang
dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakan untuknya.” (HR. Muslim no.
1631)
Masnya kan sudah mengajarkan membaca Al Qur'an, sudah punya
mengajarkan sholat. Itu semua adalah ilmu dan pahalanya akan terus
mengalir kepada mas. Bahkan, kalau misalnya nanti masnya punya cucu, dan
anaknya mas ngajarin ke cucunya, maka pahala cucu ini pun akan sampai
kepada mas. Kira-kira sama tahlilan tadi masih mending mana mas?"
A: "Astaghfirullah , betapa sia-sianya saja saya selama ini. Anda benar saya yang salah."
B: "Masnya juga bisa melihat, jama'ah tahlilan, yasinan itu paling
banyak. Namun sayang ya mas, masjid kita itu waktu sholat sepi.
Kira-kira wajib mana sholat ama tahlilan dan yasinan?"
A: "Iya mas,
bener. Masjidnya sepi, tapi kalau pas tahlilan dan yasinan bisa banyak
yang datang. Malah habis tahlilan orang-orangnya ndak ke masjid buat
sholat Isya'."
B: "Dan, jangan mau mas kita baca surat Yasin mulu,
Al Qur'an itu tak cuma surat Yasin saja. Kenapa tidak Al Baqarahan,
kenapa tidak Ali Imran-an, kenapa tidak Al A'raaf-an? Kalau terlalu
panjang, kenapa tidak Ar-Rahman-an, lebih pendek, dari Surat Yasin.
Mubadzir sekali mas, kalau Al Qur'an cuma surat Yasin saja yang
dieluk-elukkan, padahal fadhilahnya ndak ada yang shahih dalilnya".
A: "Iya mas, masnya bener."
B: "Yuk mas, kita ngaji lagi. Biar tambah ilmunya"
A: "Ayuk"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar