Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin -rahimahullah-
pernah ditanya: Wahai Syaikh, apakah permintaan seseorang pada
saudaranya yang dinilai sholeh untuk mendoakan dirinya dan saudaranya
ini mendoakan dirinya dalam keadaan dia (yang meminta) tidak
mengetahuinya, apakah ini termasuk mengurangi tawakkal orang yang
meminta didoakan?
Jika memang demikian, bagaimana penilaian engkau terhadap kisah Umar
bin Al Khathab yang meminta pada Uwais Al Qorni agar mendoakan dirinya,
padahal Umar lebih utama dari Uwais?
Syaikh rahimahullah menjawab :
Permintaan seseorang kepada saudaranya agar mendoakan dirinya, -perlu
diketahui- bahwa di dalamnya sebenarnya terdapat bentuk meminta-minta
pada manusia. Kalau kita melihat pada sejarah yaitu ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dibaiat oleh para sahabatnya, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka, “Janganlah
kalian meminta pada orang lain sedikit pun juga (syai’an).” Syai’an
(sedikit pun) di sini adalah kata dalam bentuk nakiroh . Dalam kalimat
tadi, kata nakiroh tersebut terletak dalam konteks nafi (peniadaan).
Sehingga yang dimaksud sedikit pun di situ adalah umum (mencakup segala
sesuatu). Inilah kaedah ushuliyah (dalam ilmu ushul).
Dalam mempraktekkan maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, di
antara sahabat sampai-sampai ada tongkatnya terjatuh sedangkan dia
berada di atas kendaraanya. Dia langsung turun dan mengambil tongkatnya
tersebut, dia tidak mengatakan pada saudaranya yang lain, “Tolong
ambilkan tongkatku.” (Mereka tidak mau meminta tolong) karena mereka
telah berbaiat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak
meminta pada orang lain sedikit pun juga.
Seandainya jika di dalam hal ini cuma sekedar meminta maka tidak
mengapa. Akan tetapi dalam kondisi meminta-minta seperti terkadang dalam
hati seseorang terdapat sikap memandang rendah diri sendiri dan
berburuk sangka pada dirinya sehingga dia meminta pada orang lain. Lalu
dia mengatakan, “Ya akhi (saudaraku) …!”
Seharusnya kita berbaik sangka kepada Allah ‘azza wa jalla. Jika
memang engkau bukan orang yang maqbul doanya (terkabul doanya), maka
tentu juga doa saudaramu tidak bermanfaat bagimu. Oleh karena itu, wajib
bagimu berbaik sangka pada Allah. Janganlah engkau menjadikan antara
dirimu dan Allah perantara agar orang lain berdoa pada Allah untukmu. Lebih baik jika engkau ingin berdoa, langsung mintalah pada Allah.
Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan merendahkan diri, dengan suara yang lembut.” (QS. Al A’rof [7] : 55)
Doamu sendiri kepada Allah adalah suatu ibadah. Bagaimana engkau membuat dirimu luput dari ibadah yang mulia ini?
Demikian pula, sebagian orang jika meminta kepada saudaranya yang
terlihat sholeh untuk mendoakan dirinya, maka orang ini terkadang
menyandarkan diri pada do’a orang sholeh tadi. Bahkan sampai-sampai dia
tidak pernah mendoakan dirinya sendiri (karena keseringannya meminta
pada orang lain).
Kemudian muncul pula masalah ketiga. Boleh jadi orang yang dimintakan
do’a tadi menjadi terperdaya dengan dirinya sendiri. Orang sholeh ini
bisa menganggap bahwa dirinya-lah yang pantas untuk dimintakan doa.
(Inilah bahaya yang ditimbulkan dari meminta doa pada orang lain)
Namun, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memiliki pendapat yang cukup bagus. Beliau rahimahullah mengatakan :
Apabila engkau meminta pada saudaramu untuk mendoakan dirimu yaitu
engkau ingin saudaramu juga mendapatkan kebaikan dengan berbuat baik
padamu atau engkau ingin agar dia juga mendapatkan manfaat karena telah
mendoakanmu dalam keadaan dirimu tidak mengetahuinya -doa seperti ini
akan diaminkan oleh malaikat dan malaikat pun berkata : engkau pun akan
mendapatkan yang semisalnya-, maka seperti ini tidak mengapa
(diperbolehkan) .
Namun, apabila yang engkau inginkan adalah semata-mata kemanfaatan pada dirimu saja, maka inilah yang tercela.
Adapun mengenai kisah Umar (bin Al Khathab) –radhiyallahu ‘anhu- yang
meminta pada Uwais (Al Qorni) untuk mendoakan dirinya, maka ini adalah
perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini adalah khusus untuk
Uwais saja (bukan yang lainnya). Oleh karena itu, tidak pernah
diketahui bahwa sahabat lain meminta pada Umar untuk mendoakan dirinya
atau meminta pada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, berdoalah pada Allah
untuk kami.” Padahal Abu Bakar lebih utama daripada Umar dan lebih utama
daripada Uwais, bahkan lebih utama dari sahabat lainnya. Jadi
permintaan Umar pada Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memotivasi para sahabat, siapa saja
yang bertemu Uwais, maka katakanlah padanya, “Wahai Uwais, berdoalah
pada Allah untukku.” Kisah Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais saja,
tidak boleh digeneralkan pada yang lainnya.
******
Kesimpulan:
Akhirnya, kami menemukan jawaban yang kami cari sejak dulu yaitu
bagaimana meminta pada orang lain untuk mendoakan kita. Penjelasan
Syaikh Ibnu Utsaimin ini sudah sangat gamblang. Jadi yang tercela adalah
jika kita meminta saudara kita mendoakan kita namun kita ingin agar doa
tersebut hanya bermanfaat pada diri kita. Jika maksud kita dengan
permintaan tersebut adalah agar saudara kita juga mendapatkan manfaat
sebagaimana yang kita peroleh, maka ini tidak mengapa. Perhatikanlah
salah satu keutamaan orang yang mendoakan saudaranya di saat saudaranya
tidak mengetahuinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ
مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ
بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak
mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada
malaikat (yang memiliki tugas mengaminkan do’anya kepada saudarany,
pen). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut
berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.” (HR.
Muslim no. 2733).
Jika manfaat seperti dalam hadits ini yang diinginkan pada saudara
kita –yaitu saudara kita akan mendapatkan timbal balik dari doanya pada
kita-, maka seperti ini tidaklah mengapa.
Jika saudara kita mendoakan kita, maka dia juga akan mendapatkan yang
semisalnya. Kita meminta padanya agar mendoakan kita tetap istiqomah
dalam agama ini, maka dia juga akan diberi taufik oleh Allah untuk
istiqomah. Jika memang kemanfaatan seperti ini yang kita ingin agar
saudara kita juga mendapatkannya, maka bentuk permintaan doa seperti ini
tidaklah mengapa. Jadi, bedakanlah dua kondisi ini.
Oleh karena itu, sebaiknya jika kita ingin meminta doa pada saudara
kita maka kita juga menginginkan dia mendapatkan kemanfaatan sebagaimana
yang nanti kita peroleh. Kita minta padanya agar mendoakan kita lulus
ujian. Maka seharusnya kita juga berharap dia mendapatkan manfaat ini
yaitu lulus ujian. Kita minta padanya agar mendoakan tetap isiqomah
ngaji. Maka seharusnya kita juga berharap dia mendapatkan manfaat ini
yaitu tetap istiqomah ngaji. Jadi, sebaiknya yang kita katakan padanya
adalah : Wahai akhi, doakan ya agar aku dan kamu bisa lulus ujian. Atau :
Wahai akhi, doakan ya agar aku dan kamu bisa tetap istiqomah ngaji.
Itulah yang lebih baik. Atau juga bisa kita niatkan bahwa semoga do’a
dia pada kita juga bermanfaat bagi dirinya.
Semoga kita diberi keistiqomahan dalam agama ini. Semoga kita selalu
mendapat ilmu yang bermanfaat, dimudahkan dalam amal sholeh dan selalu
diberi rizki yang thoyib.
oleh ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar